Jumat, 20 September 2013

KISAH-KISAH HIKMAH

Dikisahkan bahwa Ar-Robi bin Khutsaim sedang menggali liang kubur di rumahnya. Ketika ia mendapati hatinya keras, maka ia masuk ke liang kubur tersebut. Ia menganggap dirinya telah mati, lalu menyesal dan ingin kembali ke dunia seraya membacakan ayat :
رَبِّ ارْجِعُونِ {99} لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ {100}
“Ya Robbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal sholih terhadap apa yang telah kutinggalkan (dahulu).” (QS. Al-Mu’minun: 99-100)
Kemudian ia berkata, “Kini engkau telah dikembalikan ke dunia wahai Ar-Robi.” Setelah itu Ar-Robi bin Khutsaim mendapati hari-hari setelahnya senantiasa dalam keadaan ibadah dan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Konon, pernah seorang santri menginap di rumah Imam Ahmad. Menjelang tidur, Imam Ahmad membawakan air untuknya dan diletakkan di dekat kang santri. Saat pagi menjelang subuh, ternyata air tersebut masih seperti semula dan tidak berkurang. Beliau kemudian berkata:
سبحان الله رجل يطلب العلم لا يكون له ورد بالليل
“Subhanallah, seseorang berharap akan mendapatkan ilmu, tetapi ia tidak memiliki wirid (kebiasaan) malam....”
******
Menyesal, teringat saat masih mondok sangat jarang sekali sholat tahajjud.....

(13). Bagaimana akan dapat terang hati seorang yang gambar dunia terlukis dalam lensa/cermin hatinya?
Atau bagaimana akan pergi menuju Allah, padahal ia masih terikat (terbelenggu) oleh syahwat hawa nafsunya?
Atau bagaimana akan dapat masuk ke hadrat Allah, padahal ia belum bersih (suci) dari kelalainnya yang disini diumpamakan dengan janabatnya?
Atau bagaimana mengharap akan mengerti rahasia yang halus (dalam), padahal ia belum taubat dari kekeliruan-kekeliruannya?

Ada seorang teman saya yang mengeluhkan bacaan Imam Rawatib di musholla dekat rumahnya. Ia menganggap bacaan fatihah-nya banyak yang salah & hawatir akan dapat merubah arti. Ia merasa berkewajiban untuk mengingatkan Imam tersebut. Tetapi ada kehawatiran peringatannya akan memicu konflik. Karena Imam tersebut adalah orang yang sudah ditokohkan.
Saat itu saya tidak memberikan jawaban. Saya hanya menceritakan sebuah kisah antara Sydna Hasan & Husain yang pernah saya baca di tafsir As-Sya’rawi. Suatu ketika beliau berdua mendapati seorang kakek yang tidak sempurna wudlunya dan tidak memenuhi syarat rukunnya. Mau mengingatkan secara langsung gak enak juga, takutnya nanti malah membikin dia malu atau malah menjadi marah.
Akhirnya, Sydna Hasan & Husain ini berpura-pura bertengkar mempermasalahkan wudlu mereka. Masing-masing merasa wudlunya paling baik. Akhirnya mereka meminta si kakek tadi untuk memperhatikan wudlu mereka dan menjadi juri untuk menentukan wudlu siapakah yang paling sempurna. Setelah memperhatikan wudlu dua cucu Rasulullah ini, si kakek menjadi malu & mengatakan:
كل منكما أحسن وأنا الذي ما أحسنْتُ
“Masing2 dari kalian sama2 bagus wudlunya, sayalah yang wudlunya tidak sempurna…”