Dikisahkan bahwa Ar-Robi bin Khutsaim sedang menggali liang
kubur di rumahnya. Ketika ia mendapati hatinya keras, maka ia masuk ke liang
kubur tersebut. Ia menganggap dirinya telah mati, lalu menyesal dan ingin
kembali ke dunia seraya membacakan ayat :
رَبِّ ارْجِعُونِ {99} لَعَلِّي
أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ {100}
“Ya Robbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku
berbuat amal sholih terhadap apa yang telah kutinggalkan (dahulu).” (QS.
Al-Mu’minun: 99-100)
Kemudian ia berkata, “Kini engkau telah dikembalikan
ke dunia wahai Ar-Robi.” Setelah itu Ar-Robi bin Khutsaim mendapati hari-hari
setelahnya senantiasa dalam keadaan ibadah dan
takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Konon, pernah seorang santri
menginap di rumah Imam Ahmad. Menjelang tidur, Imam Ahmad membawakan air
untuknya dan diletakkan di dekat kang santri. Saat pagi menjelang subuh,
ternyata air tersebut masih seperti semula dan tidak berkurang. Beliau kemudian
berkata:
سبحان الله رجل يطلب العلم لا يكون
له ورد بالليل
“Subhanallah, seseorang berharap akan mendapatkan
ilmu, tetapi ia tidak memiliki wirid (kebiasaan) malam....”
******
Menyesal, teringat saat masih mondok sangat jarang sekali sholat tahajjud.....
(13). Bagaimana akan dapat terang
hati seorang yang gambar dunia terlukis dalam lensa/cermin hatinya?
Atau bagaimana akan pergi menuju
Allah, padahal ia masih terikat (terbelenggu) oleh syahwat hawa nafsunya?
Atau
bagaimana akan dapat masuk ke hadrat Allah, padahal ia belum bersih (suci) dari
kelalainnya yang disini diumpamakan dengan janabatnya?
Atau bagaimana mengharap akan
mengerti rahasia yang halus (dalam), padahal ia belum taubat dari
kekeliruan-kekeliruannya?
Ada seorang teman saya yang mengeluhkan bacaan Imam
Rawatib di musholla dekat rumahnya. Ia menganggap bacaan fatihah-nya banyak
yang salah & hawatir akan dapat merubah arti. Ia merasa berkewajiban untuk
mengingatkan Imam tersebut. Tetapi ada kehawatiran peringatannya akan memicu
konflik. Karena Imam tersebut adalah orang yang sudah ditokohkan.
Saat itu saya tidak memberikan jawaban. Saya hanya
menceritakan sebuah kisah antara Sydna Hasan & Husain yang pernah saya baca
di tafsir As-Sya’rawi. Suatu ketika beliau berdua mendapati seorang kakek yang
tidak sempurna wudlunya dan tidak memenuhi syarat rukunnya. Mau mengingatkan
secara langsung gak enak juga, takutnya nanti malah
membikin dia malu atau malah menjadi marah.
Akhirnya, Sydna Hasan &
Husain ini berpura-pura bertengkar mempermasalahkan wudlu mereka. Masing-masing
merasa wudlunya paling baik. Akhirnya mereka meminta si kakek tadi untuk
memperhatikan wudlu mereka dan menjadi juri untuk menentukan wudlu siapakah
yang paling sempurna. Setelah memperhatikan wudlu dua cucu Rasulullah ini, si
kakek menjadi malu & mengatakan:
كل منكما أحسن وأنا الذي ما أحسنْتُ
“Masing2 dari kalian sama2 bagus wudlunya, sayalah yang wudlunya
tidak sempurna…”